Lampuhijau.id, Kota Tangerang —
Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Tangerang pada September 2025 mengeluarkan surat resmi bernomor T/1786.PNH/900.1.13.1/IX/2025 yang bersifat penting, berisi himbauan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) Tahun 2025. Surat tersebut ditujukan kepada Wajib Pajak atas nama Darman, CS dengan Nomor Objek Pajak Daerah (NOPD) 36.75.720.006.007-0999.C, beralamat di Jl. KH Maulana Hasanudin RT 001 RW 08, Kelurahan Cipondoh, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang.
Dalam surat itu, Bapenda mengingatkan batas waktu pembayaran PBB-P2 jatuh pada tanggal 30 September 2025, dengan ketetapan pokok pajak sebesar Rp 5.866.730,-. Keterlambatan pembayaran akan dikenakan sanksi administratif berupa bunga 1% per bulan sesuai Peraturan Wali Kota Tangerang Nomor 112 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
Surat tersebut menegaskan, apabila pembayaran telah dilakukan, wajib pajak diminta melakukan konfirmasi kepada Sub Bidang Penagihan Bapenda Kota Tangerang melalui Help Desk WhatsApp 0822-xxxx-xxxx.
Rincian piutang yang dilampirkan menunjukkan adanya tunggakan pajak sejak Tahun 2022 hingga 2024, dengan total keseluruhan mencapai Rp 26.060.924,-, termasuk denda akumulatif sebesar Rp 4.084.264,- per tanggal 22 September 2025.

Langkah Bapenda ini, di satu sisi, mencerminkan komitmen pemerintah daerah dalam memperkuat tata kelola fiskal dan optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun di sisi lain, dinamika administrasi perpajakan sering kali bersinggungan dengan problem sosial yang lebih luas, termasuk status kepemilikan dan keabsahan tanah warga.
Dalam konteks sosial yang bersinggungan dengan isu pertanahan, Ahmad Sugandi, warga Jl. Puri Megah RT 001 RW 008, Kelurahan Cipondoh, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang, menyampaikan surat terbuka bernomor 002/Sugandi/IX/2025 kepada berbagai lembaga negara, antara lain:
Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Banten,
● Kepala Kejaksaan Negeri Kota Tangerang,
● Kapolres Metro Tangerang Kota,
● Kepala Inspektorat Kota Tangerang,
● Kepala Dinas Pengairan Provinsi Banten.
Dalam surat tersebut, Sugandi menyuarakan penolakan terhadap hambatan administratif dalam proses sertifikasi hak atas tanah adat yang ia wakili sebagai ahli waris almarhum Saudih bin H. Damin. Tanah tersebut tercatat sebagai tanah adat C Desa 773 Persil 105 Kelas D.III.
Sugandi menuturkan, proses pengajuan sertipikat telah melalui mekanisme resmi Badan Pertanahan Negara (BPN) Kota Tangerang. Namun, menurutnya, permohonan tersebut ditolak oleh pihak Kelurahan Cipondoh tanpa dasar hukum tertulis, meskipun formulir telah disahkan dan diverifikasi oleh petugas BPN.
” Lurah Cipondoh menolak memberikan tanda tangan dan keterangan tertulis, dengan alasan perintah dari Camat Cipondoh, yang kemudian mengarahkan Sugandi untuk berkoordinasi dengan Dinas Pengairan Provinsi Banten, ” Ujar Sugandi.
Dalam pernyataan camat, tanah tersebut dikategorikan berstatus “Aqou”, sehingga memerlukan surat keterangan resmi dari instansi pengairan provinsi untuk dapat dilanjutkan ke tahap sertifikasi. Namun menurut Sugandi, tidak terdapat catatan tanah pengairan di wilayah Kota Tangerang yang relevan dengan objek tanah dimaksud.
Sugandi menilai, hambatan birokratis yang dialaminya menunjukkan dugaan adanya intervensi oknum tertentu yang menghalangi hak warga negara atas administrasi pertanahan. Dalam narasinya, ia menyebut bahwa “kami sebagai warga negara seolah-olah dikebiri oleh oknum yang tidak bertanggung jawab”.
Ia mengajukan dasar hukum perjuangannya antara lain:
1). Undang-Undang Dasar 1945,
2). Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960,
3). Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik,
4). Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN,
5). Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, serta
6). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

” Saya memohon perlindungan hukum dan pengawasan etik administrasi publik kepada lembaga-lembaga negara yang berwenang, agar proses sertifikasi tanah dapat dilakukan secara transparan dan sesuai prinsip keadilan administratif, kepastian hukum, dan akuntabilitas pelayanan publik,” Jelasnya lagi
Kedua fenomena di atas—antara penegakan kewajiban fiskal (pajak daerah) dan pemenuhan hak keperdataan (sertifikasi tanah)—menggambarkan pentingnya sinkronisasi tata kelola pemerintahan yang berlandaskan kepastian hukum dan pelayanan publik yang berintegritas.
Dalam perspektif tata kelola publik modern, pajak dan sertipikat tanah tidak hanya merupakan instrumen ekonomi dan hukum, tetapi juga indikator legitimasi negara dalam menjamin hak dan kewajiban warganya secara seimbang.
Oleh karena itu, perlu dikedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan non-diskriminasi administratif, agar setiap warga negara memperoleh hak pelayanan publik tanpa hambatan birokratis yang berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan terhadap institusi pemerintah.
Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Prinsip ini menjadi fondasi etis dan legal bagi penyelenggara pemerintahan dalam membangun relasi yang adil antara rakyat dan negara. Kisah antara Darman, CS dan Ahmad Sugandi menggambarkan dua sisi wajah administrasi daerah: disiplin fiskal dan perjuangan hak atas tanah. Di sinilah pentingnya peran lembaga pengawas dan aparatur publik dalam memastikan bahwa keadilan administratif bukan sekadar prosedur, tetapi juga cerminan empati negara terhadap warganya.
( Usm )






