Vonis Bebas Kasus Dugaan Pemalsuan Surat di Kota Tangerang: Majelis Hakim Nyatakan Uti Sayuti dan Agus Tidak Bersalah

by -0 views

Lampuhijau.id , Tangerang —

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang memutus bebas dua terdakwa, Uti Sayuti bin Hasan (54) dan Agus bin Nisin (49), dalam perkara dugaan tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Putusan tersebut dibacakan dalam sidang terbuka pada Senin, 27 Oktober 2025, dengan Hakim Ketua Masduki, S.H., memimpin jalannya persidangan.

Putusan bebas tersebut menandai berakhirnya proses hukum panjang yang telah menyeret kedua terdakwa sejak Oktober 2024. Sebelumnya, keduanya sempat menjalani masa tahanan selama lima bulan—dua bulan di Polres Metro Tangerang Kota dan tiga bulan di Lapas Pemuda Tangerang—sebelum akhirnya dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Kota Tangerang.

Berdasarkan berkas Surat Tuntutan P-42 Nomor REG. PERKARA PDM-260/TNG/12/2024, JPU mendakwa bahwa kedua terdakwa, pada sekitar bulan Oktober 2017, diduga telah melakukan tindakan pemalsuan surat kepemilikan tanah yang terletak di Kampung Sawah Dalam RT 002/004, Kelurahan Panunggangan Utara, Kecamatan Pinang, Kota Tangerang.

Dalam dakwaan, disebutkan bahwa terdakwa Agus dan Uti Sayuti secara bersama-sama telah membuat dokumen palsu berupa Girik Nomor C.684 atas nama Rimsa Rima, serta Peta Bidang Tanah BPN No. 1153/2017 dengan luas 2.046 m², tanpa keterlibatan pihak PT Alam Sutera yang disebut dalam batas pengukuran lahan tersebut. Akibat perbuatan itu, PT Tangerang Matra Real Estate (TMRE), selaku pemilik sah lahan berdasarkan Akta Pelepasan Hak Nomor 239 tanggal 31 Desember 2013, mengaku mengalami kerugian sekitar Rp2 miliar.

Dalam persidangan, sejumlah saksi kunci dihadirkan oleh JPU. Salah satunya, Franky Kussoy, perwakilan PT Tangerang Matra Real Estate, menjelaskan bahwa pihaknya telah membeli lahan tersebut sejak 2013 dari ahli waris H. Ahmad Muhammad Husni dan Hj. Sumarti. Namun pada tahun 2017, muncul plang baru di lokasi tersebut bertuliskan “Tanah Ini Milik Ahli Waris Rimsa Rima” dengan dasar Girik C.684, yang diduga dipasang oleh terdakwa.

Franky juga menuturkan bahwa pihaknya sempat menemukan adanya pagar tembok yang dibangun di atas lahan perusahaan, serta hilangnya plang milik PT TMRE. Atas kejadian tersebut, perusahaan melaporkan kasus itu ke kepolisian untuk ditindaklanjuti secara hukum.

Sementara itu, Drs. Herlan bin (alm) Matulloh, mantan Lurah Panunggangan Utara (periode 2005–2017), menyatakan bahwa dirinya tidak pernah menandatangani atau mengeluarkan surat keterangan tanah atas nama Rimsa Rima. Ia mengaku dirugikan karena tanda tangannya ditemukan dalam dokumen Girik C.684 yang diduga palsu.

Keterangan lain disampaikan Warji bin Minan, Lurah Panunggangan Utara sejak 2019, yang menegaskan bahwa berdasarkan pencocokan data di buku C desa, Girik C.684 tercatat atas nama Mirham, bukan Rimsa Rima. Ia juga membenarkan bahwa dokumen yang diajukan oleh pihak terdakwa menunjukkan sejumlah kejanggalan administratif, termasuk nomor register surat kelurahan yang tidak sesuai dengan catatan resmi.

Dalam amar putusannya, majelis hakim menilai bahwa alat bukti yang diajukan oleh penuntut umum tidak cukup kuat untuk membuktikan unsur-unsur pidana pemalsuan sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP. Hakim Masduki, S.H., menegaskan bahwa dakwaan bersifat tidak meyakinkan karena tidak ada bukti langsung yang menunjukkan keterlibatan kedua terdakwa dalam pembuatan atau penggunaan dokumen palsu dimaksud.

Lebih lanjut, hakim menyoroti adanya ketidaksesuaian antara keterangan saksi, bukti dokumen, dan hasil pemeriksaan lapangan, yang menimbulkan keraguan dalam memastikan perbuatan pidana telah terjadi. Majelis berpendapat bahwa dalam konteks hukum pidana, asas “in dubio pro reo” (keraguan harus ditafsirkan untuk kepentingan terdakwa) harus ditegakkan demi menjamin keadilan substantif.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, majelis hakim menjatuhkan putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan Terdakwa Uti Sayuti bin Hasan dan Agus bin Nisin tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

2. Membebaskan para terdakwa dari seluruh dakwaan (vrijspraak) atau setidak-tidaknya melepaskan dari segala tuntutan hukum (onstlag van alle rechtsvervolging).

3. Memulihkan hak-hak terdakwa dalam hal kedudukan, harkat, martabat, dan kemampuannya sebagaimana semula.

4. Membebankan biaya perkara kepada negara.

Kedua terdakwa menyambut putusan tersebut dengan rasa syukur. “Kami sudah ditahan lima bulan, dua bulan di Polres dan tiga bulan di Lapas Pemuda Tangerang. Kami sangat bersyukur akhirnya dinyatakan bebas oleh majelis hakim,” ujar Agus sesaat usai sidang.

Kasus ini menyoroti kompleksitas perkara pertanahan di wilayah perkotaan yang kerap bersinggungan dengan aspek legalitas administratif dan praktik mafia tanah. Vonis bebas terhadap Uti Sayuti dan Agus sekaligus menjadi pengingat pentingnya standar pembuktian yang ketat dalam perkara pemalsuan dokumen publik, serta urgensi pengawasan lintas lembaga antara, pemerintah daerah, dan aparat penegak hukum.

Keputusan ini juga menunjukkan bahwa prinsip “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” tidak hanya menjadi simbol dalam setiap surat tuntutan, tetapi juga menjadi manifestasi nyata dalam menjaga integritas hukum, menjamin hak asasi terdakwa, dan menegakkan keadilan substantif di hadapan hukum.

(red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.