Lampu Hijau, Palembang
Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) tinggal menghitung hari. Semua kandidat menawarkan konsep pembangunan yang monumental. Namun, Pilkada 2018 harus dijadikan referensi bagi para pemilih.
Dalam konteks kontestasi Pilgub 2024, parameter yang bisa jadikan referensi adalah Pilkada 2018 lalu, dimana terpilih pasangan Herman Deru dan Mawardi Yahya (HDMY).
Bila, dibedah visi misi HDMY yang dipaparkan baik dalam kampanye langsung ke publik, maupun di hadapan Rapat Paripurna DPRD Provinsi Sumsel tahun 2018 dengan tagline visi “SUMSEL MAJU UNTUK SEMUA”, sebuah pilihan narasi yang yg membuai dan meninabobokkan kita semua khususnya masyarakat konstituen.
Narasi yang membuat rakyat terbius dengan segunung asa bahwa telah datang seorang pemimpin yang akan membawa masyarakat Sumsel menuju gerbang kesejahteraan dalam arti yang sesungguhnya.
Namun apa yang kita rasakan di era kepemimpinan HDMY?. Lebih cenderung hanya slogan manis tanpa pembuktian.
Berbicara fakta hasil kepemimpinan HDMY selama 5 tahun, karya monumental apa yang bisa dibanggakan?.
Mungkin terlalu ekstrem dan subjektif jika dikatakan tidak ada kerja, dan karya HDMY selama 5 tahun memimpin rakyat Sumsel. Tetapi dari fakta-fakta yang yg dilihat dan dirasakan oleh masyarakat Sumsel, maka tidak salah pula jika Herman Deru hanya sukses membangun gurita bisnis pribadi dan keluarganya. Sukses membangun dinasti untuk memenuhi syahwat kekuasaannya.
Mungkin tidaklah keliru jika visi Sumsel “Maju untuk Semua” mendapat kritikan beberapa tokoh politik dengan melihat kondisi yang ada menjadi “Sumsel Maju untuk Keluarga”. Karena faktanya tidak terbantahkan, bagaimana HD membangun dinasti politik dan cengkraman kekuasaannya, hampir di semua lini jabatan strategis birokrasi dan politik di Sumsel, notabene orang-orang ygg memiliki kedekatan hubungan kekeluargaan dan kekerabatan dengan HD.
Pertanyaannya adalah, lantas bagaimana dengan posisi MY sebagai wakil gubernur ? Bukankah MY juga harus bertanggung jawab secara kolektif dari jebijakan HD?. Secara konstitusional, MY wajib ikut bertanggungjawab atas kegagalan HDMY memberi kesejahteraan pada masyarakat Sumsel.
Namun secara faktual, dapat dilihat bagaimana “keengganan” MY untuk kembali berduet dengan HD pada Pilgub 2024. Artinya ada yang salah dalam hubungan relasi dan harmonisasi antara gubernur dan wakil gubernur sebagai kompatriot.
Sangat santer isyu yang merebak di kalangan publik Sumsel bahwa jangankan berbagi porsi kewenangan dan kebijakan, sebagaimana komitmen awal yang dibangun dan disepakati antara HD dan MY, namun banyak hal terkait tupoksi MY sebagai wagub yang diduga dikebiri oleh HD, baik dalam kebijakan pembangunan fisik maupun penempatan SDM pada jabatan-jabatan strategis di pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota.
Fungsi MY bergeser hanya menjadi “pemotong pita acara seremonial”. Maka dapat dimaklumi jika MY “berontak” dengan mengambil sikap politik tidak mau lagi berpasangan dengan HD dan memilih untuk menjadi rival HD pada Pilgub 2024. Dapat dipahami alasan MY menolak ajakan HD untuk kembali berpasangan pada Pilgub Sumsel 2024, karena tidak mau lagi sekadar “menerima makanan sisa dan bertugas mencuci piring kotor”.
Mungkin analisa ini sangat subjektif. Namun fakta yang terjadi tidak dapat dipungkiri bahwa memang telah terjadi pecah kongsi antara HD dan MY dalam kontestasi Pilgub Sumsel dalam gelaran Pilkada Serentak 2024.
Penulis Ir. Suparman Romans